Terdapat adagium yang mengatakan bahwa hanya bangsa yang memiliki sejarahlah bangsa yang memiliki masa depan dan kebesaran, karena kebesaran sebuah bangsa ditentukan oleh pondasi yang dibangun leluhurnya di masa lalu. Kesadaran itu tumbuh mulai dari cerita dari generasi kegenerasi kemudian ditulis menjadi sebuah catatan atau buku. Begitu pula cara menghancurkan sebuah bangsa juga dengan cara menghancurkan sejarahnya, sehingga mereka kehilangan jati diri karena kehilangan pijakan masa lalunya, menjadi bangsa yang yatim piatu. Itulah cara yang dilakukan penjajah Eropa pada bangsa terjajah seperti di Amerika, Afrika dan Asia serta Australia banyak bangsa yang kehilangan sejarahnya.
Beruntung bangsa Inondonesia, walaupun lama dijajah Eropa secara silih berganti tetapi tidak semua sejarah bisa dihilangkan, paling banter dibelokkan, karena terus berusaha dijaga, namun demikian tetap banyak yang hilang. Karena itulah sejak dini seorang pejuang kemerdekaan bernama R. Mas Said yang dikenal dengan Pangeran Sambernyowo menulis perjalanan hidup dan perjuangannya sendiri yang diberi judul Babat Tutur atau Babat Nitik dan sebagainya. Buku itulah yang kemudian menjadi sumber sejarah yang otentik bagi sejarah Nusantara. Pada abad berikutnya P. Diponegoro juga menuliskan sejarah perjalanan dan perjuangannya dalam sebuah naskah yang disebut Babad Diponegoro. Semuanya untuk mengindari manipulasi sejarah oleh kolonial.
Islam sendiri mengajarkan Nabi mengharuskan para sahabatnya kemana saja agar tidak lupa membawa pena, guna menulis mencatat apa yang dilihat dan dialami. Maka tidak aneh kalua sejarah Islam itu walaupun muncul di pertengahan awal abad masehi, tetapi semuanya tercatat dengan baik. Karena itulah KH. Hasyim Asyar’i dalam sebuah seruannya pada para Ulama agar banyak membaca sejarah karena dengan membaca sejarah bisa mengetahui jatuh bangunnya sebuah bangsa dan menjadikan kita orang yang arif bijaksana dalam bertindak.
Dalam kenyataannya sejarah Islam khususnya sejarah NU sangat banyak dimanipulasi oleh Belanda. NU dilukiskan sebagai organisasi yang sedemikain buruk, yaitu tradisional, tidak memiliki arah yang jelas dan tidak tertib. Pandangan itu diikuti oleh para orientalis lain, dan para cendekiawan pribumi di perguruan tingga sehingga citra NU menjadi demikian buruk, padahal NU punya prestasi cemerlang baik zaman, Belanda, Jepang maupun masa Kemerdekaan. Karena itu KH. Saifuddin Zuhri seorang wartawan dan juga pejuang kemerdekaan mengingatkan bahwa: membaca sejarah adalah penting tetapi yang terpenting adalah membuat sejarah. Menulis sejarah tidak sekadar mencatat peristiwa penting, tetapi membuat sejarah, yang menjadikan diri kita sebagai sebagai pelaku utama dalam sejarah.
Tetapi dalam kenyataannya sejarah Indonesia yang ditulis para indolog Belanda yang banyak menyimpang itu dilanjutkan para orientalis dari Eropa yang lain, sehingga menyingkirkan peran Islam dalam sejarah perjuangan Bangsa dan itu diikuti oleh para sejarawan Indonesia. Maka kemudian hal itu direspon keras oleh KH. Wahib Wahab tahun 1977 memberitahukan pada pimpinan NU bahwa peran Umat Islam telah disingkirkan dari panggung sejarah perjuangan bangsa. Penulisan sejarah Nasional Indonesia memang didominasi kelompok cendekian, akademisi sejarawan Indonesia keskular yang mereka adalah didikan Belanda.
Melihat kenyataan itu maka pada tahun 1982-1983 KH. Munasir Ali seorang veteran pejuang 1945 mulai mengorganisir para cendekiawan NU untuk menganatisipasi hal ini. Salah satu langkah spektakular yang dilakukan KH. Munasir adalah menginventarisir arsip penting NU, kemudian dititipkan di Arsip Nasional (ANRI) agar mudah diakses oleh cendekiawan dan sejarawan yang mau menulis tentang Islam khususnya NU. Langkah KH. Munasir itu dilanjutkan oleh H. Abdul Mun’im DZ yang kembali menginventarisir arsip penting NU yang bertebaran di mana-mana untuk diserahkan untuk dikelola oleh ANRI agar aman terawat dan bisa dengan mudah diakses oleh para sejarawan.
Langkah itu memiliki dampak yang luar biasa menjadikan NU sebagai organisasi dengan sistem pengarsipan terbaik, tetapi bukan itu yang terpenting bahwa para sejarawan bisa menulis sejarah NU dengan lebih proposional, karena tersedia sumber dan data yang akurat dan lengkap. Langkah ini sudah sebagai bantahan bahwa organaisai NU bukanlah organisasi yang asal-asalan, melainkan organisasi yang sejak awal sangat tertib administrasi.
Semangat itu dilanjutkan oleh para aktivis dan sejarawan NU yang dengan suka rela membentuk kelompok sendiri untuk menyelamatkan arsip dan juga manuskrip yang banyak ditulis para kiai dan tokoh masyarakat di berbagai tempat. Bahan tersebut digunakan untuk menulis sejarah NU lokal dan peran para ulamanya dalam perjuangan nasional.
Saat ini muncul kesadaran tinggi di kalangan muda bahwa NU tidak boleh hanya menjadi maf’ul (objek) tetapi harus menjadi fa’il (subjek), menjadi pelaku sejarah dengan menulis sejarahnya sendiri dan menentukan pilihan serta langkahnya sendiri.
(Abdul Mun’im DZ, penggerak penelitian Sejarah Nusantara)