Penulis : Khariri Makmun*
Dalam dunia geopolitik yang semakin panas, sedikit yang bisa membayangkan dampak dari satu tindakan tunggal yang berujung pada bencana skala besar. Ketika Israel secara diam-diam melancarkan serangan yang menewaskan Ismail Haniyeh, pemimpin Hamas, pada pagi hari yang tenang di Teheran, mereka mungkin tidak menyadari bahwa ini bisa menjadi percikan yang membakar seluruh Timur Tengah. Dalam waktu beberapa jam setelah serangan tersebut, pemimpin Hizbullah, Fuad Shukr, juga menemui ajalnya dalam sebuah operasi rahasia. Namun, bukan sekadar eliminasi dua tokoh besar yang mengkhawatirkan, melainkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan ini.
Seperti yang diungkapkan oleh Michael Clarke dalam artikelnya di *Sunday Times*, kita sekarang berada di ambang sebuah spiral baru yang berpotensi membawa Israel dan Iran ke dalam konflik terbuka—sebuah skenario yang selama ini dianggap tak terbayangkan oleh banyak pihak di dunia internasional. Kematian Haniyeh bukan hanya soal pembalasan dendam; ini adalah undangan terbuka bagi Iran untuk merespons, dan sejarah menunjukkan bahwa Teheran tidak akan berdiam diri.
Bagi Israel, konfrontasi dengan Iran adalah mimpi buruk yang ingin dihindari. Meski kekuatan militer Israel dikenal superior di kawasan, Iran bukanlah lawan yang bisa diremehkan. Dengan dukungan milisi proksi di seluruh Timur Tengah, seperti Hizbullah dan Houthi di Yaman, Iran memiliki kapasitas untuk membuka beberapa front sekaligus melawan Israel. Menurut data yang dilansir oleh *Global Firepower*, Iran memiliki sekitar 3,500 unit artileri dan lebih dari 2,000 peluncur roket, belum lagi armada drone yang telah terbukti efektif dalam berbagai operasi militer di wilayah tersebut.
Israel, di sisi lain, memiliki angkatan udara yang sangat kuat dan teknologi militer canggih, termasuk sistem pertahanan Iron Dome yang dirancang untuk menangkis serangan roket. Namun, skenario terburuk yang digambarkan Clarke bisa membuat pertahanan Israel kewalahan. Jika Hizbullah meluncurkan ribuan roket dalam beberapa serangan besar, Iron Dome bisa jadi tidak cukup untuk melindungi semua wilayah Israel. Sejarah menunjukkan bahwa perang sebelumnya, seperti Perang Lebanon 2006, telah memberi pelajaran pahit bahwa Hizbullah bukanlah ancaman yang bisa disapu bersih dengan mudah.
Keputusan Sulit di Tangan Netanyahu
Di tengah situasi yang semakin memanas, tekanan politik dan militer di Israel semakin meningkat. Benjamin Netanyahu, yang terkenal dengan kebijakan kerasnya, kini berada di persimpangan jalan. Apakah Israel akan menunggu serangan pertama dari Iran, atau justru mengambil inisiatif untuk melancarkan serangan pre-emptive? Opsi pertama bisa membahayakan warga sipil Israel, sementara opsi kedua bisa menyeret Israel ke dalam perang skala penuh dengan Iran dan sekutunya, yang mungkin sulit untuk dimenangkan tanpa bantuan internasional yang signifikan.
Washington, sebagai sekutu terdekat Israel, juga berada dalam posisi yang sulit. Pemerintah Amerika Serikat, di bawah kepemimpinan Joe Biden, telah mencoba untuk meredam ketegangan di Timur Tengah. Namun, dorongan dari kelompok-kelompok pro-Israel di Kongres, ditambah dengan retorika anti-Iran yang telah lama mengakar, bisa memaksa AS untuk terlibat lebih jauh dalam konflik ini, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi stabilitas global.
Jika Israel memutuskan untuk melancarkan serangan ke Hizbullah di Lebanon, Clarke memperingatkan bahwa ini tidak akan seperti perang-perang sebelumnya. Perang yang baru ini bisa menjadi salah satu yang paling brutal dan berdampak besar, tidak hanya bagi Israel, tetapi juga bagi seluruh kawasan. Hizbullah, meskipun tidak populer di kalangan rakyat Lebanon, kini jauh lebih kuat dibandingkan dua dekade lalu, dan siap untuk menghadapi serangan Israel dengan kekuatan penuh.
Selain itu, kemungkinan eskalasi ke perang darat di Lebanon akan menjadi mimpi buruk bagi Israel. Wilayah pegunungan Lebanon, yang dikenal sulit ditembus, bisa menjadi kuburan bagi tentara Israel jika mereka terjebak di sana, sementara serangan roket terus menghujani wilayah Israel dari berbagai arah. Hal ini juga akan membuka peluang bagi kelompok-kelompok seperti Hamas dan Houthi untuk meningkatkan serangan mereka dari Gaza dan Yaman, menciptakan situasi di mana Israel harus menghadapi serangan dari berbagai front sekaligus.
Dunia saat ini berada di tepi jurang konflik besar yang bisa merubah peta politik Timur Tengah untuk selamanya. Serangan Israel terhadap Ismail Haniyeh mungkin menjadi percikan yang memulai kebakaran besar ini. Sejarah telah mengajarkan bahwa perang besar dimulai dengan insiden kecil, dan kita mungkin menyaksikan hal yang sama di sini. Di tengah ketidakpastian ini, satu hal yang pasti: Israel dan Iran berada di jalur bentrokan yang bisa meledak kapan saja. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah ada jalan kembali sebelum semuanya terlambat?
*Penulis adalah Peneliti Dipantara Leadership Academdy