Oleh: KH. Abdul Mun’im DZ
KH Chalid Mawardi adalah aktivis NU yang muncul sejak tahun 1950-an di Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, kemudian tahun 1960-an menjadi aktivis sekaligus pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia PMII), dan pada tahun 1965 saat terjadi Pemberontakan PKI, ia menjadi salah seorang pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor. Selain aktif di organisasi, ia juga seorang jurnalis yang pernah menjadi Redaktur Harian Duta Masjarakat, koran NU.
Kemudian dia aktif di Partai Persatuan Pembangunan PPP) sebagai politisi yang sangat terkenal di lingkungan NU. Selepas jadi Ketua Umum GP Ansor pada 1980-1985, ia kemudian menjadi Duta Besar RI untuk Syria. Setelah itu banyak membantu PBNU dalam urusan politik dan diplomatik, sebuah profesi yang saat itu masih langka di NU.
Kepiawaian beliau dalam berdiplomasi saya menyaksikan sendiri ketika tahun 2011 PBNU diminta dunia Islam untuk mendamaikan Afghanistan di Jakarta. Tugas ini berat karena mempertemukan semua faksi yang bertikai di sana. Kiai Chalid dipasang paling depan. Beberapa kali kelompok Taliban dan juga Jabhah Islamiah walk out, yang membuat Presiden Burhanuddin Rabbani kepala delegasi pusing. Dengan lihainya Kiai Chalid bisa membujuk mereka masuk lagi ke forum perundingan. Semuanya ini menjadi cikal bakal perdamaian Afghanistan dan berdirinya NU di sana.
Walaupun saya dengan beliau memiliki jarak generasi yang amat jauh, tetapi menjadi begitu dekat ketika beliau bersama KH Baidlowi Adnan membantu kami menulis buku putih Benturan NU-PKI 1948-1965 pada tahun 2012 atas perintah Rais Aam KH Sahal Mahfudh. Beliau sangat serius membimbing saya karena menulis buku ini bagian dari perjuangan melawan PKI. Beliau menjelaskan bahwa PKI memiliki dua agenda yaitu Agitprop yaitu agitasi dan propaganda.
Kalau dulu menggunakan senjata untuk melawan agitasi dan teror PKI. Sekarang ini berjuang melawan propaganda PKI, disebar opini bahwa PKI bukan pelaku kudeta 1965 malah menuduh TNI pelakunya dibantu NU dalam melakukan kudeta dan pembantaian massal. Untuk menghadapi propaganda semacam itu bukan senapan atau pedang melainkan pena, yaitu menulis buku sanggahan. Dengan menerbitkan Buku Putih PKI versi NU untuk melawan propaganda PKI. Sejak itu hubungan kami dengan beliau menjadi sangat dekat sehingga kami banyak belajar pada beliau, baik soal politik, jurnalistik, maupun mistik (spiritual).
Hubungan kami menjadi renggang ketika di usia yang semakin senja beliau melakukan uzlah membangun padepokan di Ambarawa Jawa Tengah. Ketika kami hendak mendiskusikan sesuai harus pergi ke sana. Di sebelah rumah dibangun sebuah mushala. Beliau menegaskan bahwa langgar hanya lisshalah wal iʼtikaf saja. Beliau saat ini sudah menjauhkan diri dari kegiatan sosial apalagi politik, maka waktu sepenuhnya hanya dicurahkan untuk dzikir dan tafakur. Dalam pertemuan di padepokannya itu beliau banyak membeberkan jati dirinya.
Kiai Chalid mengaku dirinya pernah menjadi pemimpin NU, anggota parlemen dan diplomat padahal pendidikannya tidak sempurna. Nyaris hanya tamat SMA di Solo. Setelah itu menjadi wartawan harian Duta Masjarakat sambil menjadi asisten ibunya di Jakarta saat Nyai Mahmudah Mawardi menjadi anggota DPR RI dari Partai NU. Suatu ketika bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS di USIS Jakarta tahun 1957, lalu ditawari belajar ke AS, maka segera mendaftar dan diterima sebagai mahasiswa di Akademi Jurnalistik.
Selama setahun di berada di sana untuk mempersiapkan kuliah, tidak disangka pada pertengahan tahun 1959 ada telegram dari Bung Karno agar segera kembali ke Jakarta. Ketika dicek di Kedutaan RI Washington, memang telegram tersebut benar, maka tanpa pikir panjang kuliah ditinggal dan segera kembali ke Tanah Air.
Ternyata setiba di Tanah Air oleh Bung Karno ditugasi menjadi salah seorang perumus Menifesto Politik Manipol) bersama pakar yang lain yang lebih senior. Setelah mendengar pengarahan Bung Karno, maka tim bekerja merumuskan Manifesto Politik berdasarkan semangat Revolusi. Di antara pakar itu ada seorang kiai sepuh yaitu Kiai Dasuki Siradj yang tidak lain adalah tokoh PKI Solo, musuh bapaknya, Kiai Mawardi.
Di dalam forum itu Kiai Dasuki sudah menjadi PKI beneran, dengan sangat meremehkan agama. Sebagai seorang beragama, apalagi mewakili Partai Islam NU, maka Chalid Mawardi tersinggung rasa keberagamaannya. Terpaksa dia berani menghadapi sang kakek dedengkot PKI ini. Dengan demikian kelompok komunis tidak bisa mendominasi rumusan Manipol itu. Sebaliknya para politisi yang lain termasuk Chalid Mawardi lebih mendominasi dalam perumusan Manifesto Politik yang dipidatokan Bung Karno tahun 1959, yang kemudian juga disahkan menjadi GBHN yang menjadi haluan negeri ini.
Mengenai pengalaman spiritualnya beliau bercerita, suatu ketika disuruh ibunya untuk menuliskan hizib yang diijazahkan oleh Kiai Masyhud kepada Nyai Mahmudah yaitu Hizib Ghouts, yang cukup panjang. Tetapi Kiai Chalid tidak hanya menuliskan kemudian juga sering membaca, maka lama-kelamaan menjadi hafal. Kemudian dia melaporkan hal itu pada Ibunya. Oleh Ibunya dilarang mengamalkan wirid itu karena dianggap belum cukup syarat untuk mengamalkan sebab belum diijazahi.
Lalu di lapor kepada Kiai Masyhud, bagaimana ini Chalid sudah hafal Hizib Ghouts dan sudah mengamalkan padahal belum diijazahkan. Wah itu bukan urusan saya tetapi urusan sang mujiz yaitu Kiai Wahab Hasbullah kata Kiai Masyhud. Sejak itu Kiai Chalid berusaha menemui Kiai Wahab, kebetulan suatu ketika Kiai Chalid bertemu Kiai Wahab di Jakarta pada saat Rapat harian PBNU. Seusai rapat PBNU di depan para kiai yang lain, Kiai Chalid menyampaikan pada Kiai Wahab bahwa beliau mendapat perintah dari gurunya yaitu Kiai Masyhud untuk memohon ijazah Hizib Ghouts, lalu Kiai Chalid muda disuruh membaca, Kiai Wahab kaget ternyata Chalid Mawardi sudah hafal hizib itu, langsung Kiai Wahab mengijazahkan.
Kiai Wahab kemudian mengatakan bahwa anak-anaknya sendiri tidak ada yang diijazahi Hizib Ghouts itu. Kiai Wahab berpesan agar nanti pada saatnya Chalid mengijazahkan hizib tersebut kepada putera puteri Kiai Wahab. Kata Kiai Wahab, hizib ini ibarat terowongan yang sinarnya langsung memancar dari langit, tidak ada doa yang tidak didengar oleh Allah ketika mengamalkan hizib ini.
Bahkan tidak hanya itu, di depan para kiai PBNU itu, antara lain KH Masykur, KH Anwar Musaddad, Kiai Idham Chalid dan lain sebagainya, Kiai Wahab mengatakan kepada Kiai Chalid Mawardi; “Sampean tidak hanya saya ijazahi, Hizib Ghouts ini, tetapi sampean saya baiat menjadi mursyid Tarekat Sadziliyah.”
Tentu saja Chalid Mawardi yang masih muda itu kaget, termasuk para kiai lain yang menyaksikan. Sejak saat itu para kiai yang lain sangat hormat pada Kiai Chalid Mawardi karena sudah ditunjuk sebagai mursyid oleh Kiai Wahab sejak muda, tetapi beliau tidak mau menunjukkan kemursyidannya. Bahkan sampai sekarang sebagai seorang mursyid Tarekat Sadziliyah beliau tidak membaiat sembarang orang, kecuali orang tertentu yang diwasiatkan gurunya.
Pembicaraan kami dengan beliau di padepokan terkadang lama sampai beranjak malam, maka kami segera akan pamitan. Tidak tahunya Ibu Nyai Muniroh Chalid malah menawari kopi, maka pembicaraan berlanjut hingga larut malam. Ini mengagetkan biasanya seorang isteri itu menjadi satpam sangat protektif pada suami yang sudah uzur. Tetapi Nyai ini malah mengulur dan membiarkan. Rupanya Ibu Nyai telah maklum bahwa Kiai Wahab telah mengajarkan Tarekat Nahdliyah, maka majelis berbincang soal ke-NU-an merupakan wirid tersendiri sehingga kalau ada tamu dari NU, beliau rela meninggalkan wirid dan amalan yang lain demi menjalankan wirid Nahdliyah. (WA)
Artikel pernah terbit di NU Online