Khariri Makmun*
Aleppo kembali menjadi pusat perhatian dunia. Setelah hampir delapan tahun sejak kekalahan besar kelompok oposisi di kota ini pada Desember 2016, Aleppo kini menjadi saksi serangan besar-besaran kelompok pemberontak dari Idlib. “Operasi Penangkal Agresi” yang diluncurkan oleh kelompok bersenjata oposisi ini tidak hanya mengejutkan Presiden Bashar Al-Assad, tetapi juga para pengamat internasional yang mencatat intensitas konflik di Suriah selama tiga tahun terakhir tampak mereda. Serangan tersebut menimbulkan pertanyaan mendalam tentang stabilitas politik Suriah, kemampuan rezim Assad untuk mempertahankan wilayah, dan peran aktor regional serta internasional dalam konflik yang tampaknya tak berujung ini.
Konflik di Suriah tidak pernah sederhana. Dalam satu dekade terakhir, Suriah menjadi arena pertarungan tiga perang utama: perang sipil antara pemerintahan Assad dan oposisi, perang melawan ISIS, serta konflik antara pemerintah Suriah dengan kelompok Kurdi yang berusaha mendirikan wilayah otonom di utara. Setiap perang ini memiliki dinamika unik yang melibatkan berbagai aktor dengan kepentingan berbeda.
Arab Spring pada 2011 menjadi pemicu perang saudara di Suriah. Dimulai sebagai protes damai menuntut reformasi demokrasi, gerakan ini dengan cepat berubah menjadi pemberontakan bersenjata setelah respons keras dari rezim Bashar Al-Assad. Oposisi yang tergabung dalam Free Syrian Army (FSA) awalnya memiliki cita-cita membangun Suriah yang demokratis. Namun, fragmentasi di tubuh oposisi, infiltrasi kelompok ekstremis, serta intervensi asing merusak tujuan awal gerakan ini.
Pada 2013, muncul ancaman baru dalam bentuk ISIS yang memanfaatkan kekosongan kekuasaan di wilayah Suriah. Pada puncaknya, ISIS menguasai 30% wilayah Suriah, menciptakan teror yang menyebar hingga ke luar negeri. Perang melawan ISIS, yang melibatkan koalisi internasional, berhasil menumpas kelompok ini, tetapi meninggalkan kehancuran di banyak wilayah Suriah.
Konflik antara pemerintah Suriah dan kelompok Kurdi yang ingin mendirikan negara otonom juga menjadi babak penting dalam perang ini. Dengan dukungan Amerika Serikat, Kurdi berhasil merebut sebagian wilayah dari ISIS. Namun, upaya mereka mendapatkan otonomi penuh mendapat perlawanan keras dari pemerintah Suriah dan Turki. Turki, yang menganggap kelompok Kurdi sebagai ancaman terhadap keamanan nasionalnya, melancarkan operasi militer besar hingga mencaplok wilayah seluas 26.000 km² di Suriah utara.
Para pejuang anti-pemerintah mengacungkan senjata mereka saat menaiki sebuah kendaraan di kota Aleppo, Suriah utara, pada 30 November. OMAR HAJ KADOUR/AFP VIA GETTY IMAGES
Kembalinya Aleppo ke Panggung Konflik
Serangan terbaru di Aleppo menunjukkan bahwa konflik Suriah jauh dari selesai. Kelompok Haiatu Tahrir Al-Sham (HTS), yang memimpin serangan ini, menjadi pemain utama dalam dinamika perang Suriah. HTS, yang sebelumnya dikenal sebagai Jabhat Al-Nusra, telah bertransformasi dari afiliasi Al-Qaeda menjadi entitas mandiri yang menguasai sebagian besar wilayah Idlib.
Berbeda dengan konflik sebelumnya, oposisi kini menunjukkan koordinasi yang lebih baik melalui komando militer terpadu. Pada 2019, kelompok oposisi di Idlib membentuk “Ruang Operasi Al-Fath Al-Mubin” untuk menyelaraskan strategi militer di utara Suriah. Mereka juga berhasil mengembangkan senjata lokal, termasuk drone seperti “Shahin” dan “Saraiya Al-Aqab.”
Penguasaan senjata strategis, seperti peluncur roket, tank, dan sistem pertahanan udara, memberikan keunggulan bagi oposisi dalam pertempuran ini.
Kejutan yang dihasilkan dari serangan ini mencerminkan kelemahan struktural di tubuh Rezim Assad. Meskipun selama ini mendapat dukungan besar dari Rusia dan Iran, Pemerintah Suriah tampaknya kesulitan mengantisipasi serangan berskala besar yang memanfaatkan koordinasi taktis yang efektif. Selain itu, keberhasilan serangan ini memunculkan spekulasi tentang adanya dukungan dari Turki kepada HTS, mengingat kepentingan strategis Ankara di wilayah tersebut.
Konflik Suriah tidak bisa dilepaskan dari kepentingan berbagai aktor regional dan internasional. Iran dan Rusia telah menjadi sekutu utama Assad, menyediakan dukungan militer dan politik yang memungkinkan rezim bertahan dari gempuran oposisi. Di sisi lain, Turki, Amerika Serikat, dan negara-negara Teluk memiliki agenda yang sering kali bertentangan dengan Assad.
Turki memainkan peran ambigu dalam konflik ini. Di satu sisi, Ankara mendukung kelompok pemberontak sebagai bagian dari upayanya melawan kelompok Kurdi di Suriah utara. Di sisi lain, Turki menjalin kesepakatan dengan Rusia untuk menciptakan zona de-eskalasi di Idlib. Serangan HTS baru-baru ini menimbulkan spekulasi bahwa Turki mungkin memberikan dukungan logistik atau politik kepada kelompok ini, meskipun Ankara secara resmi menyangkalnya.
Rusia dan Iran tetap menjadi pilar utama dalam mempertahankan rezim Assad. Rusia, melalui intervensi militernya sejak 2015, tidak hanya menyelamatkan Assad dari kekalahan tetapi juga memperkuat posisinya sebagai pemain utama di Timur Tengah. Iran, melalui dukungan milisi seperti Hizbullah, memperkuat cengkeraman Assad di wilayah strategis.
Namun, kesuksesan serangan oposisi di Aleppo menunjukkan bahwa dominasi Rusia dan Iran di Suriah tidak sepenuhnya tak tergoyahkan. Ini menimbulkan pertanyaan apakah Moskow dan Teheran akan meningkatkan keterlibatannya untuk mempertahankan rezim Assad atau memilih fokus pada kepentingan strategis lainnya.
30 November 2024, Suriah, Aleppo, Anggota Pasukan Oposisi bersenjata Suriah berdiri di depang Benteng Kuno Aleppo setelah merebut kendali atas sebagian besar wilayah kota terbesar kedua di Suriah. (Foto oleh Anas Al-Kharboutli/Picture Alliance via Getty Images).
Masa Depan Suriah: Stabilitas yang Rapuh
Serangan terbaru ini menunjukkan bahwa stabilitas di Suriah masih sangat rapuh. Meskipun Assad telah berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah Suriah, tantangan dari oposisi bersenjata, kelompok Kurdi, dan intervensi asing terus mengancam pemerintahan. Selain itu, rekonstruksi Suriah yang hancur akibat perang membutuhkan upaya besar yang tidak mungkin dilakukan tanpa dukungan internasional.
Membangun kembali Suriah pasca-konflik adalah tugas yang monumental. Dengan infrastruktur yang hancur, jutaan pengungsi, dan ekonomi yang lumpuh, rekonstruksi membutuhkan investasi besar dan kerja sama internasional. Namun, sanksi Barat terhadap rezim Assad dan ketegangan geopolitik membuat proses ini semakin sulit.
Solusi jangka panjang untuk konflik Suriah hanya bisa dicapai melalui dialog politik yang melibatkan semua pihak, termasuk oposisi, pemerintah Assad, dan aktor internasional. Namun, dengan adanya ketidakpercayaan mendalam antara pihak-pihak yang terlibat, proses ini menghadapi banyak hambatan.
Penutup
Serangan terbaru di Aleppo mengingatkan dunia bahwa konflik Suriah masih jauh dari selesai. Dengan berbagai aktor yang terlibat dan kepentingan yang bertabrakan, menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan untuk Suriah tetap menjadi tantangan besar. Dunia tidak boleh mengalihkan perhatian dari Suriah, karena stabilitas negara ini adalah kunci bagi perdamaian di Timur Tengah yang lebih luas.
Perang di Suriah adalah cerminan dari kompleksitas politik internasional dan dampak tragis dari kekuasaan yang dipertahankan dengan tangan besi. Dunia harus belajar dari konflik ini, memahami akar permasalahannya, dan bekerja menuju solusi yang tidak hanya menghentikan kekerasan tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik untuk rakyat Suriah.
*Penulis adalah Peneliti Moderation Corner, Jakarta.