Kisah tentang kecerdasan dan kerendahan hati Gus Ishom sudah menjadi legenda di kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU). Suatu ketika, saat masih menjadi pelajar, Gus Ishom ditempatkan di barisan depan selama ujian madrasah. Ia adalah orang pertama yang menerima soal dan lembar jawaban. Dalam sekejap, Gus Ishom menyelesaikan soal ujian tersebut bahkan sebelum guru selesai membagikan soal kepada murid-murid lainnya. Kecepatan dan ketepatannya dalam menjawab soal menjadi bukti kecerdasan luar biasanya.
Namun, kecerdasannya tak hanya ditunjukkan dalam hal akademis. Suatu hari, saat sedang mengendarai mobil, Gus Ishom bertemu dengan seorang kakek yang mengendarai sepeda. Dengan rasa hormat yang tinggi, Gus Ishom tidak berani mendahului kakek tersebut meskipun dirinya sedang mengendarai mobil. Ketika kakek itu berhenti, Gus Ishom ikut berhenti, turun dari mobil, dan mencium tangan sang kakek. “Dulu Panjenengan adalah guru ngaji al-Quran saya sewaktu saya masih kecil,” ucapnya. Kejadian ini menunjukkan betapa hormatnya Gus Ishom terhadap para gurunya, sebuah nilai yang terus ia pegang sepanjang hidupnya.
Mengenal Lebih Dekat Sosok Gus Ishom
Gus Ishom, yang lahir pada 18 Juli 1965, adalah putra dari Hj. Khodijah binti Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan Kiai Hadziq. Ia adalah putra pertama dari tiga bersaudara, lahir di Kediri, Jawa Timur. Saat kelahirannya, ibunya mengalami kesulitan. Kiai Hadziq segera meminta doa dan bantuan dari KH. Mahrus Ali Lirboyo, yang langsung datang dan berdoa agar proses kelahiran berjalan lancar. Berkat doa tersebut, Gus Ishom lahir dengan selamat. KH. Mahrus Ali, yang yakin bahwa Gus Ishom akan menjadi anak yang shalih, memberikan nama “Ishomuddin” yang berarti orang yang mampu menjaga agama.
Sejak kecil, Gus Ishom sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan dan kepribadian yang luar biasa. Ia rajin, disiplin, sopan santun, dan memiliki minat besar pada ilmu pengetahuan. Pada usia 4 tahun, Gus Ishom sudah mulai membaca berita di Koran Duta Masyarakat, sesuatu yang jarang dilakukan oleh anak seusianya. Gus Ishom juga dikenal sangat menghormati gurunya, Kiai Idris Kamali, dengan selalu shalat Maghrib tepat waktu di belakangnya.
Pada usia sekitar 7 tahun, Gus Ishom mulai menjalankan shalat Tarawih dengan tuntas dan berpindah-pindah dari satu imam ke imam lainnya untuk mencari orang yang paling fasih bacaan al-Qurannya. Ini menunjukkan kecerdasannya dalam memilih guru yang mendalam ilmunya dan tinggi moralitasnya. Ia tidak sembarangan memilih guru karena sangat menyadari pengaruh besar yang dimiliki seorang guru dalam keberhasilan pendidikan murid-muridnya.
Pendidikan dan Karier
Pendidikan Gus Ishom dimulai dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, hingga Aliyah yang semuanya ia selesaikan di Tebuireng. Setelah menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1981, ia melanjutkan studi di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, yang terkenal sebagai ‘gudang kitab kuning’. Di sana, Gus Ishom dikenal sebagai sosok yang cerdas dan memiliki daya ingat yang luar biasa. Ia juga aktif dalam kegiatan Bahtsul Masail dan sering menjadi moderator serta tim perumus dalam berbagai diskusi ilmiah.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Lirboyo, Gus Ishom melanjutkan studi di Universitas Islam Kediri (UNIK), Universitas Tribakti, dan IKAHA. Meskipun hanya menamatkan studinya di UNIK, ia dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas dan mendapatkan nilai A dalam setiap mata kuliah. Setelah lulus, Gus Ishom sempat ditawari menjadi dosen, namun ia memilih untuk tidak mengambil tawaran tersebut.
Gus Ishom kemudian kembali ke Tebuireng dan terlibat dalam berbagai aktivitas internal dan eksternal, termasuk mengajar di pesantren, madrasah, serta ceramah di berbagai tempat. Ia juga aktif dalam organisasi keagamaan dan politik, menjabat sebagai salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur, Wakil Ketua RMI Pusat, serta politisi PPP yang pernah menjadi anggota DPRD Jombang.
Kepribadian dan Pengaruh
Kepribadian Gus Ishom sangat mengagumkan. Ia dikenal sebagai sosok yang rendah hati, sederhana, dan selalu bersikap akrab dengan murid-muridnya. Ia sering menggunakan bahasa Kromo Inggil atau bahasa Indonesia saat berbicara dengan murid-muridnya, menunjukkan rasa hormat dan keakraban. Gus Ishom juga sangat sederhana dalam penampilannya, sering kali mengenakan sepeda mini atau vespa buntut untuk bepergian.
Selain itu, Gus Ishom juga sangat menghormati para gurunya. Ia selalu menjaga adab terhadap guru-gurunya, bahkan setelah menjadi sosok yang terkenal. Penghormatannya kepada para guru tidak pernah berubah, menunjukkan betapa pentingnya nilai-nilai keagamaan dan moralitas dalam hidupnya.
Wafat dan Warisan
Gus Ishom wafat pada 26 Juli 2003 di Rumah Sakit William Booth Surabaya pada usia 37 tahun. Wafatnya Gus Ishom meninggalkan duka yang mendalam bagi banyak orang, termasuk para kiai, santri, politisi, dan masyarakat umum. Pemakamannya dihadiri oleh banyak orang dari berbagai penjuru, menunjukkan betapa besar pengaruhnya sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat.
Warisan Gus Ishom tidak hanya dalam bentuk karya tulis dan kontribusi dalam bidang keilmuan, tetapi juga dalam nilai-nilai moral yang ia tanamkan pada murid-murid dan para pengikutnya. Semoga ruh Gus Ishom diterima di sisi Allah, diampuni dosanya, dan mendapatkan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan yang telah ia lakukan di dunia.
Selengkapnya bisa dibaca di sini