Khariri Makmun*
Ketika konflik Suriah mulai memanas pada tahun 2011, banyak analis bertanya-tanya, mengapa Turki begitu aktif mendukung pemberontakan melawan Presiden Bashar al-Assad? Narasi resmi dari Ankara mengklaim bahwa tujuan mereka adalah untuk mendukung kebebasan, demokrasi, dan pembebasan wilayah Muslim, termasuk Al-Aqsa. Namun, ketika fakta-fakta dan data diurai, motif di balik tindakan Turki tampak lebih kompleks dan pragmatis, salah satunya terkait proyek pipa gas Qatar-Turki.
Untuk memahami dinamika ini, kita perlu memeriksa hubungan Turki dengan Israel. Meski sering menggunakan retorika keras terhadap Israel, Turki adalah negara mayoritas Muslim pertama yang mengakui negara tersebut pada tahun 1949. Hubungan diplomatik dan ekonomi antara kedua negara tetap kuat hingga kini.
Data perdagangan menunjukkan bahwa volume perdagangan antara Turki dan Israel terus meningkat. Pada tahun 2021, perdagangan bilateral mencapai lebih dari USD 8 miliar, meningkat tajam dibanding dekade sebelumnya. Bahkan, baja yang digunakan untuk pembuatan tank-tank Israel, yang sering digunakan dalam operasi militer di Palestina, sebagian besar diimpor dari Turki.
Jika benar tujuan Erdogan adalah membebaskan Palestina, mengapa ia tidak memutus hubungan ekonomi dengan Israel atau mengalihkan dukungan militernya kepada pejuang Palestina? Justru, retorika Erdogan tampak lebih ditujukan untuk konsumsi domestik dan meningkatkan citra internasional sebagai pemimpin dunia Islam.
Pejuang anti pemerintah berpatroli di Aleppo tengah pada tanggal 30 November 2024. – Para jihadis dan sekutu mereka yang didukung Turki menerobos kota kedua Suriah, Aleppo, pada tanggal 29 November, saat mereka melancarkan serangan kilat terhadap pasukan pemerintah yang didukung Iran dan Rusia. (Photo by Muhammad HAJ KADOUR / AFP)
Suriah dan Pipa Gas Qatar-Turki
Ketika melihat konflik Suriah, penting untuk memahami konteks geopolitik dan energi. Salah satu isu utama yang jarang dibahas adalah proyek pipa gas Qatar-Turki. Qatar, sebagai salah satu produsen gas alam terbesar di dunia, ingin membangun pipa yang akan mengalirkan gasnya ke Eropa melalui Arab Saudi, Yordania, Suriah, dan Turki.
Namun, Bashar al-Assad menolak proyek tersebut. Sebaliknya, Assad mendukung rencana pipa alternatif yang didukung oleh Iran, yang akan menghubungkan gas Iran ke Mediterania melalui Suriah. Keputusan ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal aliansi politik. Proyek pipa Qatar-Turki akan mengurangi ketergantungan Eropa pada gas Rusia, sesuatu yang dianggap menguntungkan bagi blok Barat dan NATO, tetapi merugikan Rusia dan Iran.
Dengan menolak proyek pipa Qatar-Turki, Assad menjadi penghalang utama dalam ambisi energi Turki. Dukungan Erdogan kepada pemberontak Suriah, termasuk kelompok-kelompok Islamis radikal, dapat dilihat sebagai cara untuk menggulingkan Assad dan membuka jalan bagi proyek pipa ini.
Sementara itu, Palestina tampaknya bukan prioritas utama bagi Erdogan. Jika benar dukungan Turki kepada pemberontak Suriah bertujuan untuk membebaskan Al-Aqsa, logikanya, Turki seharusnya mengarahkan sumber daya dan senjatanya ke Gaza atau Tepi Barat, bukan ke Suriah.
Namun, data menunjukkan bahwa dukungan Turki kepada kelompok pemberontak di Suriah jauh lebih besar dibanding dukungannya kepada Palestina. Menurut laporan SIPRI, Turki menjadi salah satu pemasok utama senjata ke oposisi Suriah, termasuk kelompok-kelompok Islamis yang memiliki ideologi serupa dengan Al-Qaeda. Padahal, jika sumber daya ini dialihkan ke Palestina, potensi untuk melemahkan dominasi Israel akan jauh lebih besar.
Turki, di bawah Erdogan, memiliki ambisi besar untuk menjadi hub energi global. Lokasinya yang strategis, di persimpangan antara Eropa dan Asia, membuat Turki ideal untuk menjadi jalur transit energi. Pipa gas Qatar-Turki adalah bagian dari strategi ini.
Namun, proyek ini menghadapi tantangan besar, terutama dari Rusia dan Iran. Rusia, sebagai pemasok utama gas ke Eropa, tidak ingin kehilangan dominasinya. Iran, di sisi lain, melihat pipa ini sebagai ancaman terhadap proyek energinya sendiri. Dengan mendukung pemberontakan melawan Assad, Erdogan berharap dapat melemahkan aliansi Rusia-Iran-Suriah dan membuka jalan bagi ambisi energi Turki.
Narasi resmi dari Ankara sering kali menggunakan isu keagamaan dan kemanusiaan untuk membenarkan intervensi di Suriah. Namun, analisis fakta menunjukkan bahwa motif di balik tindakan ini lebih pragmatis dan geopolitik. Erdogan tampaknya lebih peduli pada kepentingan strategis dan ekonominya dibanding pembebasan Palestina atau kepentingan umat Islam secara umum.
Bahkan, tindakan Turki di Suriah telah memperburuk kondisi umat Islam di kawasan tersebut. Konflik yang didukung oleh Turki telah menyebabkan jutaan warga Suriah kehilangan tempat tinggal, ribuan nyawa melayang, dan negara itu terpecah-belah.
Penutup
Dukungan Turki kepada pemberontak Suriah tidak dapat dilepaskan dari ambisi geopolitik dan ekonomi, termasuk proyek pipa gas Qatar-Turki. Meski retorika Erdogan sering kali membingkai tindakannya sebagai perjuangan untuk umat Islam, data dan fakta menunjukkan bahwa kebijakan ini lebih banyak didorong oleh kepentingan nasional Turki.
Jika benar tujuan Erdogan adalah membebaskan Palestina, langkah pertama yang logis adalah memutus hubungan ekonomi dengan Israel dan mengalihkan dukungan militer ke Palestina. Namun, hingga kini, tindakan tersebut belum terlihat.
Dengan memahami konteks geopolitik ini, kita dapat melihat bahwa konflik di Suriah bukan hanya tentang ideologi atau agama, tetapi juga tentang kontrol sumber daya dan pengaruh regional. Dalam permainan ini, rakyat Suriah adalah pihak yang paling dirugikan, menjadi korban dari ambisi besar kekuatan regional dan global.
*Penulis adalah direktur Moderation Corner Jakarta.