Makasssar 25 September 2024 — Pelaksanaan Upgrading dan Konsolidasi Kader Nasional di Jakarta memberikan inspirasi bagi berbagai daerah untuk melakukan hal serupa. Oleh karena itu, kader penggerak Nahdlatul Ulama (NU), Sulawesi Selatan (Sulsel) menyelenggarakan acara Silaturrahim dan Konsolidasi Kader NU se-Sulsel pada 25 September 2024. Selama ini, mereka mengalami kebingungan terkait perilaku PBNU yang tidak sesuai dengan tradisi NU, serta melanggar aturan organisasi.
NU yang selama ini dinamis kini terasa mandek akibat penerapan berbagai aturan yang tidak sesuai dengan kultur organisasi yang telah berkembang. Acara ini dikordinasikan oleh Koordinator Instruktur Wilayah Sulsel, Endi Zainuddin, dan dihadiri oleh Instruktur Nasional, KH. Abdul Mun’im DZ, serta Kiai Teguh Rahmanto. Dalam acara yang diikuti oleh 50 peserta dari kader seluruh PCNU se-Sulsel, KH. Abdul Mun’im menegaskan bahwa kekisruhan kebijakan saat ini disebabkan oleh kekacauan cara berpikir.
“Membangun budaya, apalagi peradaban, harus dimulai dengan cara berpikir yang baik, kemudian menyusun agenda dan membuat struktur untuk melaksanakan agenda tersebut,” ujarnya. Menurutnya, penguatan fikrah nahdliyah menjadi kunci untuk mengembalikan NU pada tradisi dan logika organisasi yang telah dirumuskan oleh para pendirinya, yang terbukti membawa kebesaran NU hingga saat ini.
Para peserta menunjukkan antusiasme tinggi dalam mengikuti kegiatan ini. Banyak di antara mereka harus menempuh perjalanan antara lima hingga dua belas jam, dari daerah seperti Wajo, Bulukumba, atau Sidrap, untuk menghadiri acara konsolidasi ini. Mereka ingin mengetahui perkembangan NU saat ini dan berbagi cerita tentang kondisi yang dialami di daerah masing-masing akibat kebijakan PBNU.
Prof. Kadri Ahmad, dosen UIN dan peneliti BRIN Sulsel, juga mengungkapkan keprihatinan atas perilaku PBNU dan wilayah yang kini tampak tidak mengikuti aturan. “Banyak kader berkualitas tidak dilibatkan, sementara yang terlibat justru yang tidak berprestasi,” ungkapnya. Dia juga mengeluhkan adanya sistem kaderisasi yang dipaksakan, di mana pengurus diharuskan memiliki ijazah, meskipun mereka telah mengikuti pendidikan kaderisasi di NU, seperti IPNU, PMII, Ansor, dan PKPNU.
Puang Makka, sesepuh NU Sulsel, mengakui bahwa selama ini pengembangan NU di Sulsel mengalami kesulitan, namun PKPNU berhasil membangkitkan militansi NU yang selama ini tertidur. Ia sangat menghormati PKPNU dan menyayangkan penghentian kaderisasi tersebut.
Secara umum, para peserta mengeluhkan berbagai masalah yang dihadapi NU saat ini, termasuk intervensi kuat PBNU dalam pelaksanaan konferensi, di mana pimpinan sidang diambil alih dan diarahkan kepada calon tertentu. “Jika hasilnya tidak sesuai, konferensi bisa ditunda. Suara anggota sering diabaikan, dan mereka yang tidak mengikuti arahan dianggap mbalelo,” ujar seorang peserta.
Kekhawatiran juga muncul terkait sistem kaderisasi PMKNU yang dipaksakan. Tanpa sertifikat PMK, calon pengurus tidak dapat mencalonkan diri, membuat banyak orang merasa tertekan. Setelah mengikuti kaderisasi yang mahal dan tidak menarik, banyak lulusan PMKNU yang tidak terlibat dalam kepengurusan, sementara orang luar yang tidak pernah mengikuti PMKNU justru dilibatkan.
Seorang kader dari Bulukumba mengungkapkan rasa malu menjadi bagian dari NU akibat kepemimpinan yang tidak bijaksana. Mereka merasa tidak senang dengan pengurusan PBNU saat ini dan tidak tertarik dengan gerakan MLB NU yang sedang digulirkan karena kurangnya informasi dan kejelasan agenda.
Dalam kesempatan ini, para peserta meminta klarifikasi mengenai kebijakan PBNU yang mereka anggap memprihatinkan. Mereka mengusulkan untuk menghidupkan kembali PKPNU, yang bertujuan membangun sistem dan menata struktur, tetapi yang terpenting adalah khidmah. “Siapa pun yang siap harus terus berkhidmah tanpa harus menunggu menjadi pengurus,” tegas mereka. (Adam GD)