Perdebatan nasab yang ramai dan berkepanjangan ini sebenarnya persoalan intern NU yang terjadi antara klan Baalawi dan klan Walisongo. Para dzuriyah Walisongo atau klan Basyaiban itu adalah para pendiri NU dan penerusnya yang merawat NU hingga saat ini NU. Demikian juga klan Baalawi itu sudah lama terlibat dalam organisasi NU ini. Karena hanya kelompok NU yang menghormati habib, sementara kelompok lain seprti Persis, Muhammadiyah apalagi organisai Al Irsyad, tidak mengakui adanya keturunan Nabi saat ini. Demikian disampaikan KH. Abdul Munim DZ dalam pengarahannya dalam pembukaan Up Grading Kader NU di Jakarta (20-7-2024).
Ketegangan antara habib dengan Masyarakat itu merupakan ketegangan laten yang telah lama terjadi. Kemudian muncul kepermukaan menjadi debat terbuka. Apalagi setelah Habaib menuduh Walisongo bukan keturunan Nabi. Perdebatan itu menjadi lebih seru ketika salah seorang ulama Nusantara yaitu KH Imaduddin Al Bantani melakukan penyedikan terhadap nasab para Habib dari klan Baalawi. Dalam penyelidikannya itu K. Imaduddin menemukan bukti sebaliknya ternyata nasab para Habaiblah itu tidak tersambung pada Nabi. Tesis ini dengan sendirinya mengagetkan banyak pihak sehingga menimbulkan perdebatan akademik yang serius dan kontroversi yang meluas antara yang pro dan yang kontra.
KH Abdul Mun’im melihat di tengah terjadinya perdebatan akademik dalam mencari kebenaran itu tiba-tiba tesis Kiai Imaduddin mendapatkan pembenaran sosiologis dari masyarakat yang selama ini merasa menjadi korban diskriminasi dan manipulasi dan intimidasi serta eksploitasi para habaib. Teori atau tesis K. Imad itu dijadikan sebagai tesisi pembebasan dari penindasan Baalawi yang sudah bertahun-tahun mereka alami, tanpa berani melawan. Dengan adanya tesis baru itu mereka berani melawan, karena habaib diangap tidak memiliki pertalian dengan darah Nabi yang dikeramatkan itu
Selanjutnya Ketua Dewan Pembina Akademi Kepemimpinan Dipantara itu melihat bahwa debat tentang nasab itu tidak lagi terbatas pada ruang perdebatan akademis, tetapi sudah menjadi debat sosiologis bahkan bermuara ke politik. Menurut K. Mun’im DZ, sebuah teori atau tesis sekuat apapun kalu sudah mendapat sanggahan publik akan lemah dan tidak laku. Sebaliknya sebuah tesis walaupun lemah tetapi mendapat pembenaran sosiologis karena memiliki relevansi sosialogis, maka kan menjadi tesis yang kuat. Apalagi kalua tesis memang itu kuat lantas mendapatkan pembenaran sosiologis akan semakin menguat, seperti tesisi K. Imad tersebut.
Sejak awal para dzuriyah Walosongo yang pada umumnya memang pengurus NU di berbagai tingkatan ini berharap PBNU untuk menengahi perdebatan nasab ini. Sayangnya PBNU melihat polemik ini persoalan remeh yang tidak perlu ditanggapi. Malah menilai sebagai kelompok orang usil yang tidak punya kerjaan, penjahat dan hanya mencari sensasi. Padahal gerakan menggugat nasab itu sangat serius yang didukung para ulama besar Nusantara, pemimpin pesantren besar. Bahkan di beberapa tempat pelaku utamanya para pengurus cabang dan wakil cabang NU di berbagai daerah. Mereka terpaksa melakukan itu semata sebagai upaya untuk melindungi jamaahnya yang ditindas para habaib. Penindasan itu dipandang penggugat nasab bukan hanya dilakukan oknum, tetapi bersifat sistematis, yakni sisa kebijakan Belanda yang dibangkitkan lagi.
Sangat disayangkan PBNU menolak melakukan mediasi, malah belakangan menyuruh pihak penggugat itu menghentikan polemik tersebut secara sepihak. Tentu seruan itu sulit diterima mereka sebab ini bukan lagi debat akademik yang bisa dihentikan, tetapi telah berubah menjadi perjuangan pembebasan Nahdliyin yang merasa ditindas oleh para habib baik secara fisik, materi maupun spiritual. Dengan sendirinya mereka tidak serta-merta bisa menghentikan perjuangannya, sebelum ada solusi yaitu mendapatkan kebebasan dan keadilan. Semuanya ini membuat mereka kecewa sehingga perdebatan terus meluas bahkan sudah saling mencaci.
Perdebatan ini menjadi semakin mengkhawatirkan Ketika kelompok gugat nasab ini mengorganisir diri organisasi Perjuangan Walisongo Indonesia (PWI) lengkap pasukan Laskar Sabilillah, organisasi ini meluas hampir seluruh Nusantara dengan semangat tempurnya yang tinggi, yang pimpinan dan anggotanya adalah Nahdliyin sendiri. Sementara kelompok Baalawi juga menyusun kekuatannya sendiri. Ini mengkhawatirkan karena keduanya sudah saling mengancam secara fisik.
Dalam kondisi seperti itu belakangan PBNU malah terang-terangan membela Baalawi dengan menuduh para kiai NU pengugat nasab dan orang-rang yang berjuang pencari kebebasan itu menggunakan cara Khawarij, Wahabi atau Syi’ah. Duduhan semacam itu membuat mereka marah sehingga berani mencela pribadi ulama yang ada di PBNU. Kiai Mun’im sangat meyayangkan hal itu, para ulama yang seharusnya dimuliakan dan dikeramatkan. Kritik dan saran boleh tetapi dengan adab yang sopan. Ini tidak boleh terjadi, kita tidak boleh melakukan itu. Kalau ini dilakukan sama dengan meruntuhkan martabat NU secar keseluruhan, yang memang sedang mengalami kemerosotan justru itu tugas semua Nahdliyin yang harus menjaga keluhurann dan kekeramatannya Jamiyah ini.
Debat bahkan konflik ini makin hari makin membara, perdebatan tidak hanya di forum seminar pengajian tetapi juga melebar ke hampir seluruh pengguna media social, sehingga perdebatan tentang nasab itu telah melibatkan pro-kontra yang sedemikian luas dengan argumen dan bukti masing-masing. Bahkan saling mengeluarkan kata-kata kotor dan telah mengarah pada perkelahian fisik.
KH. Mun’im menilai, keadaan yang sudah runyam seperti ini tidak bisa lagi diselesaikan secara akademik dengan bahsul masail di PBNU seperti yang diinginkan kelompok penggugat. Karena perdebatan ini sudah meningkat menjadi pertikaian publik yang terbuka melibatkan massa yng berang, maka tidak cukup dibahsul masailkan, melainkan dibituhkan majlis tahkim (sidang pengadilan) para ulama, untuk melerai kedua kelompok untuk menyelesaikan masalah ini secara tenang dan proporsional. Bila mau organisasi keagamaan seperti PBNU atau MUI bisa mengambil peran penting mediasi ini.
Untuk itu KH. Abdul Mun’im berharap semua Kader PKPNU yang hadir di Forum ini untuk menjaga keutuhan dan dan nama baik serta kewibawaan NU dengan cara tidak melibatkan diri dalam pertikaian soal nasab ini. Tentu kita semua punya kecenderungan membela kemuliaan Dzuriyah Walisongo, itu tidak masalah, tetapi tidak perlu melibatkan diri dalam konflik justeru kita diharapkan menenangkan situasi dengan cara tidak ikut bertengkar, cukup mengamati sambil mancari celah untuk melakukan mediasi, sebab kita perlu menyelamatkan NU dan umat Islam pada umumnya dari dampak kasus genting ini.
Sebenarnya masalah ini bisa diselesaikan seandainya ada niat dan Upaya kuat yang dilaksanakan. Dan ini tidak ada kata terlamabat, walaupun lebih susah tetapi harus diusahakan. Sebab kalau terjadi bentrok atau konflik fisik yang terbuka maka akan semakin sulit diselesaikan, karena akan menghasilkan dendam dan permusuhan berkepanjangan.
Menghadapi maslaha ini perlu bersikap dewasa dan memngambil hikmahnya, kita Kembali pada ajaran Islam yang paling dasar dan jelas bahwa inna akromakum indallahi atqokum (orang yang paling bertaqwa di sisi alalah adalah orang yang paling bertaqwa) dari manapun aslanya. Begitu juga, Sabda Nabi ; al ulama, waratsatul ambiya (ulama adalah pewaris para Nabi) bahwa pewaris para Nabi adalah para ulama dari berbagai bangsa dari berbagai dzuriyah bukan hanya dzuriyah Nabi.
Berkaitan prinsip itu K. Mun’im menjelaskan, dengan dasar ketaqwaan itu itu para muasis NU seperti KH. Hasyim Asyari, atu KH. Wahab dan K. Bisri saling bantu membatu dengan Sadati Baalawi, Tahun 1928 NU rapat di rumah dzuriyah Baalawi, tahun 1933 Baalawi memfasilitasi pengembangan NU di Batavi. Begitu juga beberapa kali Rabithah Alawiyah rapat di kantor atau pesantren NU. karena waktu itu meraka adalah para ulama yang alim dan sholeh. Tidak seperti yang dilakukan habaib belakangan ini. Tidak hanya itu NU juga bekerjasama dengan Bangsa yang lain seperti Syek Ghinaim Al-Mishri dari Mesir dan Syeh Abdul Halim Al Hindi dari India, bahkan mereka ini menjadi pengurus NU.
Dengan melihat Sejarah itu maka debat panas yang sudah mengarah pada konflik fisik terbuka ini perlu segera diselesaikan, karena kalua dilanjutkan akan melemahkan bahkan meruntuhkan struktur NU yang sudah mulai tertata ini. Kedua, situasi yang sudah memebara ini akan dimanfaatkan pihak luar tinggal menyulut menjadi konflik dan kerusuhan terbuka. Konflik terbuka ini bisa mereka pakai untuk menutupi kejahatan ekonomi dan persekongkolan politik yang mereka lakukan. Jangan sampai NU yang besar dan keramat ini hanya dijadikan tameng oleh pihak lain untuk menutupi dan melindungi kejahantan mereka.
Bagaimanapun dari debat panas yang mengguncang sendi-sendi bangunan Islam Indonesia ini kita harap segera selesai, dan kita bisa mengambil hikmah dari peristiwa ini. Karena setiap keadaan ektrim akan mengakibatkan gempa. Sementara gempa itu sendiri merupakan mekanisme alamiah untuk mencari keseimbangan baru. Berkaitan dengan debat ini, pertama akan terbentuk pola baru hubungan Baalawi dengan komunitas pribumi secara lebih egaliter, ramah dan adil.
Dengan adanya polemik itu pula data dan manuskrip tentang Walisono bermunculan yang selama ini tersimpan di Pustaka pribadi bahkan dianggap sudah lenyap dicuri Belanda. Kemudian muncul ahli-ahli nasab dengan keilmuan sangat tinggi, ini merupakana bahan penting bagi historiografi Nusantara. Itulah hikmah yang bisa diambil dari gempa social yang terjadi saat ini. Demikian KH. Abdul Mun’im DZ mengakhiri pengarahannya di depan kader NU se Nusantara di Jakarta kemarin. (Laporan Adam G Damaski)