Asketisme, atau sikap hidup sederhana dan menjauhi kemewahan, adalah salah satu nilai yang tertanam kuat dalam perjalanan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) sejak didirikannya pada tahun 1926. Para tokoh pendiri dan penggerak NU seperti KH Mahfudz Shiddiq, KH Abdullah Ubaid, dan KH Hasyim Asy’ari, bukan hanya mendakwahkan nilai-nilai keislaman kepada masyarakat, tetapi juga mempraktikkan gaya hidup yang jauh dari kemewahan. Sikap ini, yang pada akhirnya menjadi karakter dari gerakan NU, tidak hanya mencerminkan keteguhan dalam prinsip hidup, tetapi juga menjadi kunci keberhasilan dalam menjalankan misi organisasi.
Kisah tentang para pengurus PBNU yang menghadiri Muktamar Ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1935 menjadi contoh konkret bagaimana para tokoh NU memilih untuk tetap hidup sederhana. Mereka melakukan perjalanan dari Surabaya ke Banjarmasin menggunakan kapal laut kelas ekonomi, meskipun sebenarnya mereka bisa saja meminta fasilitas lebih nyaman sebagai pengurus besar. Tidur di dek, antri untuk mendapatkan ransum sederhana, dan berbagi ruang dengan rakyat biasa menjadi bagian dari perjalanan mereka. Ini bukan hanya soal menghemat biaya, melainkan juga tentang menjaga kedekatan dengan rakyat, berbagi nasib dengan mereka yang seringkali hidup dalam keterbatasan.
Ketika ditanya oleh salah seorang santri mengapa tidak menggunakan fasilitas yang lebih nyaman, KH Abdullah Ubaid menjawab dengan tegas bahwa tidur di kamar mewah bersama pejabat Belanda yang angkuh tidak akan memberikan manfaat. Lebih baik bersama rakyat biasa yang penuh kejujuran dan kesederhanaan, karena hanya dengan hidup zuhud dan mandiri mereka bisa menjalankan misi besar NU tanpa campur tangan pihak kolonial. Sikap ini menunjukkan bahwa asketisme yang dipegang erat oleh para tokoh NU bukan hanya merupakan pilihan personal, melainkan bagian dari strategi besar untuk menjaga kemandirian gerakan.
Dalam banyak kesempatan, kisah-kisah asketisme ini bukan sekadar cerita, melainkan refleksi dari komitmen para tokoh NU terhadap prinsip-prinsip perjuangan mereka. Para pengurus PBNU sering kali melakukan perjalanan jauh dengan kendaraan seadanya, kadang menggunakan kereta kelas dua atau tiga. Bahkan, tidak jarang mereka harus berdiri sepanjang perjalanan, berbagi tempat dengan pedagang dan petani di bordes kereta yang panas dan bising. Namun, semua itu tidak mengurangi semangat mereka dalam menjalankan tugas dakwah dan organisasi.
Sikap hidup sederhana ini bukan hanya mencerminkan kemandirian pribadi, tetapi juga militansi dalam memperjuangkan cita-cita besar NU. Para tokoh NU tidak ingin tergantung pada kekuasaan kolonial atau fasilitas-fasilitas yang disediakan pemerintah kolonial, karena ketergantungan itu dianggap akan merusak kemandirian gerakan. Mereka memilih untuk hidup sesuai kemampuan, mengandalkan dukungan dari masyarakat luas, dan terus menyebarkan pengaruh NU melalui upaya mandiri.
Dalam konteks ini, asketisme bukan sekadar tentang menolak kemewahan, melainkan juga tentang menolak ketergantungan. Dengan kemandirian, NU bisa menentukan langkahnya sendiri dan memperjuangkan kepentingan umat tanpa harus tunduk pada kepentingan pihak luar. Inilah yang membedakan NU dari kelompok-kelompok lain yang pada masa itu cenderung tergantung pada kekuasaan kolonial untuk mendapatkan fasilitas atau dukungan.
Sikap zuhud dan asketisme yang diperlihatkan oleh para tokoh NU bukan hanya membangun kemandirian organisasi, tetapi juga memberikan keteladanan yang kuat bagi umat Islam. Dalam setiap tindakan, para tokoh NU selalu menunjukkan bahwa mereka tidak hanya bicara tentang kesederhanaan, tetapi juga mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini membuat mereka menjadi rujukan moral bagi umat Islam di Indonesia.
Sebagai contoh, dalam Muktamar di Menes, beberapa pengurus NU bersama santri mereka datang dengan kendaraan seadanya dan membawa makanan ala kadarnya. Hal ini tentu saja mencerminkan betapa NU tidak hanya menekankan pentingnya kemandirian, tetapi juga menunjukkan komitmen untuk menjaga kesederhanaan dalam setiap aspek kehidupan. Para pemimpin NU tidak ingin terjebak dalam kemewahan atau kenyamanan, karena hal tersebut dianggap dapat merusak integritas mereka sebagai pemimpin umat.
Kemandirian inilah yang kemudian menjadi salah satu pilar kepercayaan umat terhadap NU. Umat melihat bahwa NU bukanlah organisasi yang tergantung pada kekuatan eksternal, melainkan sebuah gerakan yang benar-benar lahir dari, oleh, dan untuk masyarakat. Kepercayaan ini penting dalam membangun pengaruh NU di kalangan umat Islam, dan asketisme yang dipraktikkan oleh para tokoh NU menjadi salah satu alasan utama mengapa NU mampu bertahan dan berkembang hingga hari ini.
Relevansi Asketisme dalam Konteks Modern
Meskipun kisah-kisah tentang asketisme para tokoh NU ini terjadi dalam konteks sejarah yang berbeda, nilai-nilai yang dipegang tetap relevan hingga hari ini. Dalam dunia yang semakin didominasi oleh kapitalisme dan konsumerisme, sikap hidup sederhana dan mandiri seperti yang dicontohkan oleh para pendiri NU menjadi semakin langka. Namun, justru di sinilah tantangan sekaligus peluang bagi NU untuk terus mempertahankan dan menghidupkan nilai-nilai asketisme ini.
Generasi muda NU perlu diajarkan kembali tentang pentingnya hidup sederhana, bukan hanya sebagai sikap pribadi, tetapi juga sebagai bagian dari strategi besar untuk menjaga kemandirian gerakan. Dalam era modern, kemandirian ini tidak hanya berarti menolak ketergantungan pada kekuatan kolonial, tetapi juga menolak pengaruh negatif dari globalisasi dan kapitalisme yang sering kali menggerus nilai-nilai kejujuran dan kesederhanaan.
Dengan mempraktikkan asketisme dalam konteks modern, NU bisa terus menjadi rujukan moral bagi umat Islam, sekaligus menjaga kemandiriannya sebagai organisasi yang berjuang untuk kepentingan umat. Dalam banyak hal, asketisme ini juga bisa menjadi jawaban terhadap berbagai tantangan yang dihadapi oleh masyarakat modern, termasuk dalam menghadapi ketimpangan ekonomi dan sosial yang semakin lebar.
Asketisme yang dipraktikkan oleh para tokoh NU bukanlah sekadar pilihan hidup pribadi, melainkan bagian dari identitas gerakan yang telah terbukti berhasil menjaga kemandirian dan keberlanjutan NU. Nilai-nilai hidup sederhana, mandiri, dan berintegritas ini telah menjadi salah satu kunci keberhasilan NU dalam menjalankan misinya sebagai organisasi yang mengabdi untuk kepentingan umat Islam.
Melalui keteladanan yang diperlihatkan oleh para tokoh NU, umat Islam di Indonesia telah mendapatkan contoh konkret tentang bagaimana hidup dalam kesederhanaan tanpa kehilangan visi besar. Di tengah tantangan zaman, NU perlu terus memperkuat nilai-nilai ini dan mengajarkan kepada generasi mudanya agar semangat kemandirian dan kesederhanaan tetap menjadi bagian dari identitas organisasi.
Penulis : Khariri Makmun, Direktur Moderation Corner, Jakarta
********