K.H. Abdul Mun’im DZ menjadi Narasumber pada acara Penguatan Aswaja di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo
Sitobondo 5 Juli 2024.
Dalam kajian Ahlussunnah wal jamaah kali ini saya tidak ingin menyamapaikan doktrin Aswaja, karena soalnya ini sudah sangat dikuasi oleh para ustadz dan santri di sini. Saya akan menyempaikan hal sangat penting dikaji yaitu ketersambungan antara Aswaja dengan Nahdatul Ulama (NU). Demikian pernyataan yang diberikan oleh KH. Abdul Munim DZ dalam Halqah yang diselenggarakan IKSAS dan Santri Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo. Halaqah itu diikuti oleh para Santri senior yang berjumlah sekitar 300 orang yang memenuhi Aula pesantren.
Dalam kesempatan itu K. Mun’im DZ memaparkan tentang hubungan Aswaja dengan Madzhba dan dengan jamiyah NU. Dijelaskan bahwa para ulama Aswaja mendirikan organisasi untuk menghimpun ulama Aswaja bernama Nahdlatul Ulama. Maka pertama tama yang ditetapkan dalam organisasi ini adalah bawah Wajib hukumnya bagi pemeluk ahlussunnah waljamaah ini mengikuti salah satu madzhab empat, karena ini adalah madzhab sawadil a’dlom (kelompok mayoritas) yang benar. Maka barang siapa keluar dari mazahab empat berarati keluar dari sawdil a;dlom, padahal keluar dari sawadil a’dzom adalah sebuah kesesatan.
Selanjutnya ditegaskan bahwa mengingat banyaknya fitnah, bahaya, ancaman dan tantangan yang dihadapi yang bisa merusak Aswaja, maka para ulama mewajibkan kaum bermadhab ini untuk berjam’iyah yaitu masuk dalam Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), agar terhindar dan selamat dari fitnah dan bahaya yang mengancam. NU hadir sebagai wadah dan sekaligus pelindung dari Aswaja dan sekaligus sebagai sarana untuk memperjuangannya. Karena itu NU telah menyiapkan segala prinsip dan perangkatnya.
Dengan bersumber dari kitab-kitab muktabarah yang ditulis kaum bermadzhab baik bidang akidah, fikih maupun tasawuf, selanjtnya para ulama pendiri NU melakukan penilaian, pemilihan dan menegaskan, mensistematiskan memadatkan ajaran Aswaja agar lebih mudah dipahami. Dari situ kemudian disediakan perangkat pemikirannya baik menggunakan naqli, aqli, wagii dan irfani. Lalu juga ditetapkan hirarki pemikiran dari para mujtahid (pemikir) dan muqallid (pengikutnya).
Ditegaskan bawa hirarki pengabilan hukum dalam kitab I’anatut Thalibin mulai dari Imam Syafii, Imama Nawawi, imam Rofii, lalu ulama yang paling alim kemudian ulama yang paling wira’i. Ketentuan yang ada dalam kitab itu kemudian dipertega soleh NU, bahwa selain kita merujuk pada pendapat Imam Syafii tahap keduanya adalah Imam Nawawi, kemudian imam Rofi’I,. Selanjutnya Imam yang paling alim dan paling wira’. Agar para ulama tidak kesulitan menditeksi siapa meraka itu, maka para Muasssis NU menunjukkan meraka adalah Imam Ibnu Hajar, ImamZakaria Nasori dan Imam Asy Syarbani, semuanya adalah ulama syafi’iyah. Dengan demikian kalau ada perbedaan pendapat di kalangan mereka, para santri dan para kaia serta warga Aswaja saat ini bisa terhindar dari perselisihan dan perpecahan karena sudah melihat hirarkinya.
Dari situ juga saya sarankana agar adanya hiraraki pemikiran itu dilanjutkan ke bawah sesuai dengan tabaqat (generasinya) dan kerena kealimannya. Mulai dari Walisongo, Pangeran Diponegoro, K. Sholeh Darat, K. Cholil Bangkalan K. Hasyim Asy’ari, K. Wahab Hasbullah, lalu KH. Bisri Sansuri, K. As’ad Syamsul Arifin, K. Ahmad Shiddi lalu KH. Abdurrahman Wahid. Dengan memahami adanya hirarki sumber ini pemikiran semacam itu, maka bila terjadi perbedaan pendapat di antara ulama, maka mengutamakan yang lebih tinggi hiraki ilmu dan generasinya, dengan demikian akan terhindar dari ikhtilaf dan pecah-belah. Demikian KH. Abdul Mun’im DZ menjelaskan.
Karena pada umunya mereka adalah mahasiswa terutama dari ma’had Aliy maka memberikan respon yang sangat besar , karena sejalan dengan disiplin mereka. Beberapa Mahasiswa Ma’had Ali berkomentar; Dengan penjelasan itu kami baru mengatahui hubungan teologis antara Aswaja dengan madzhab dan dengan NU yang selama ini dianggap masing-masing berdiri sendiri dan terpisah-pisah ternyata memiliki hubungan yang logis dan sistematis.
Dengan para santri menjadi paham kenapa organsiasi NU menjadi begitu besar, karena sebagian besar bangsa Indonesia adalah pengikut Aswaja maka dengan sendirinya mereka akan mengikuti NU. Dn ini yang semakin mantap bagi kami untuk mengikuti NU dan berkhidmah di NU, karena hanya NU yang memeperjauangkan Aswaja. Sebaiknya pengetahuan seperti ini terus disebarkan di tengah masyarakat agar mereka tahu jalan dan tidak terpengaruh organisasi lain yang khittah, fikrah dan harakahnya jauh dari Aswaja. (Laporan Adam GD).