Oleh: KH. Abdul Mun’im DZ (Pembina Panata Dipantara)
Jakarta 2 Agustus 2024.
Salah satu sumber dan saksi sejarah NU yang masih hidup, KH. Baidlowi Adnan, mengutarakan keinginannya untuk berkenalan dengan KH. Chalwani, mursyid Thoriqoh Qodiriyah Naqshabandiyah dari Purworejo. Selama ini, KH. Chalwani sering membuat pernyataan tentang sejarah NU dan tarekat, tetapi hanya melalui media sosial. Saya berjanji untuk menghubungkan keduanya, dan kemudian saya mengontak KH. Chalwani. Kebetulan, pada tanggal 1 Agustus 2024, beliau memiliki agenda ke Jakarta, maka jadwal pertemuan segera kami atur. Biasanya, kami bertemu di rumah beliau di Bintaro, namun kali ini beliau memilih bertemu di Hotel Aryaduta tempat beliau menginap.
Pagi hari sekitar pukul tujuh, saya bersama KH. Baidlowi sudah tiba di sana. Setelah saling berkenalan, mereka berbincang dan bertukar informasi. Pada saat itu, saya mencoba mengkonfrontasikan pengetahuan dan pengalaman sejarah NU mereka. Percakapan kami dimulai dari pembahasan tentang tokoh NU fenomenal asal Purworejo, yaitu H. Rahmat Mulyomiseno. Lahir pada tahun 1919, beliau adalah cucu seorang kiai besar dan masih memiliki hubungan darah dengan bangsawan Gagak Handoko. Berbeda dengan tokoh-tokoh NU lainnya yang belajar di pesantren, Rahmat menempuh pendidikan di sekolah Belanda, Algemene Middlesbare School (AMS), dan kemudian melanjutkan ke sekolah kemiliteran, hingga dikenal di daerahnya.
KH. Chalwani menuturkan kisahnya, bahwa dulu ada dua tokoh muda NU di Purworejo, yaitu Rahmat Mulyomiseno asli Purworejo dan seorang Ketua Ansor dari Sukaraja, Banyumas, bernama Saifuddin Zuhri. Suatu ketika, keduanya bersaing untuk mendapatkan puteri seorang kiai sekaligus juragan batik terkaya di Purworejo. Akhir ceritanya, KH. Saifuddin Zuhri yang diterima. Kemudian Rahmat muda kemudian merantau ke Surabaya dan aktif di Ansor Surabaya.
Ibarat pepatah, “pucuk dicinta ulam tiba” di kota besar, Surabaya, Rahmat aktif di Ansor maka bertemu dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah. Rahmat dibimbing tidak hanya dalam berorganisasi, tetapi juga dilatih untuk berbisnis dan dihubungkan dengan jaringan bisnis besar. Akhirnya, Rahmat menjadi seorang pebisnis yang ulung dan dengan cepat menjadi kaya, sehingga ia masuk dalam lingkaran para pebisnis NU di Surabaya dan Jakarta.
Ketika karirnya menanjak, Rahmat juga dipercaya untuk mengelola bank, bahkan bersama Margono Djojohadikusumo merintis berdirinya Bank Rakyat Indonesia. Sejak saat itu, Rahmat Mulyomiseno pindah ke Jakarta, dan karir bisnisnya terus meningkat. Pada tahun 1957 hingga 1958, ia dipercaya oleh pemerintah untuk menjadi Direktur BNI. Menariknya, kedua kader NU yang dulu bersaing itu bertemu kembali di Jakarta dan keduanya menjadi Menteri: KH. Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama, dan R. Rahmat Mulyomiseno sebagai Menteri Perdagangan.
Mendengar cerita ini, KH. Baidlowi Adnan langsung menyambung ceritanya. Dahulu, NU selalu mendapatkan posisi Menteri di bidang sosial dan agama. Kiai Wahab pernah mengeluh kepada Presiden Soekarno agar NU sesekali diberi posisi Menteri Dalam Negeri atau Perekonomian. Bung Karno kemudian bertanya, apakah NU memiliki kader yang bisa menjadi Menteri Ekonomi dan Perdagangan? Oh ada, Kiai Wahab menyodorkan nama Rahmat Mulyomiseno, seorang ahli perdagangan dan keuangan yang saat itu menjabat sebagai Direktur BNI.
Pada tahun 1957, Rahmat beberapa kali dipanggil oleh Bung Karno, diajak berdiskusi dan bepergian untuk menjajaki kedalaman dan keluasan ilmunya. Suatu ketika, Bung Karno bertanya mengapa Indonesia sudah merdeka bahkan beberapa perusahaan asing telah kita nasionalisasi, tetapi perekonomian nasional, apalagi ekonomi rakyat masih lemah, sehingga kemiskinan belum bisa diatasi?
Bagaimana tidak miskin negara dan rakyat kita, jawab Rahmat. Memang betul perusahaan asing telah kita nasionalisasi, tetapi agen, distributor dan pengecernya masih mereka-mereka juga. Mereka suka meneyelundup, menimbun, memborong, menggelapkan, memanipulasi harga, itu membuat ekonomi kita porak-poranda.
Correct, kata Bung Karno. Lalu rencanamu apa?
Kita ini tidak mungkin melakukan tindakan drastis harus betahap dengan membagi peran secara proporsiaonal. Pengusaha asing biar tetap beroperasi di korta besar, sementara untuk di kota kecil dan pedesaan biar dikelola pribumi.
Oke itu yang saya mau, karena itu aku memanggil kamu, kata Bung Karno.
Tanpa ragu Bung Karno memangkat Rahmat Mulyomiseno dalam Kabinet Djuanda untuk menjadi Menteri Perdagangan. Selain karena dia punya program ekonomi rakyat, dia juga berasal dari partai yang kuat dan disegani yaitu NU. Hanya partai kuat yang bisa melakukan tugas berat. Kalau Bung Karno mengangkat Menteri dari PNI atau PKI, pasti kebijakannya akan diganggu Masyumi. Kalau mengangkat Menteri dari Masyumi pasti akan dirongrong oleh PKI. Sebaliknya kalau NU yang jadi, tidak akan ada yang mengganggu. Itu pertimbangan strategisnya.
Ketika diangkat menjadi Menteri Perdagangan, Rahmat Muyomiseno membuat kebijakan nasional dengan menerapkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang pedangang asing beroperasi di daerah-daerah. Hanya boleh di kota besar. Bung Karno menjadi pendukung utama program itu demikian juga para menteri yang lain baik Menteri Dalam Negeri mauapun Menteri Luar Negeri melaksanakan kebijakan itu dengan tegas, untuk pengembangan ekonomi nasional dengan asas pemerataan. Begitu KH. Baidlowi meneceritakan pengalamannya bertemu dengan Pak Rahmat Mulyomiseno.
Kedua orang tokoh itu memeberikan kontribusi besar pada perjuangan NU, Salah satu sumbangan besar Rahmat Mulyomiseno terhadap PBNU adalah memberikan rumahnya untuk dijadkikan kantor NU di Jalan Darmo Raya, yang kemudian dijadikan Kantor PWNU Jawa Timur. KH. Saifuddin Zuhri menghadiahkan rumahnya di Jalan Dharmawangsa untuk digunakan sebagai Poliklinik NU, masik banyak lagi wakaf kedua pejuang NU itu pada organisasi yang dicintainya.
Percakapan dua orang saksi Sejarah yaitu KH. Baidlowi Adnan dan KH. Chalwani itu begitu mempesona, mencerahkan memberikan carawala baru bagi yang mendengarnya. Ternyata ada dimensi lain yang tidak diketahui, bahwa NU pernaha punya seorang ahli ekonomi perdagngan dengan segudang presatsi. Rahmat Mulyomiseno adalah ekonom NU terkemukan dan perannya cukup besar dan berpengaruh hingga pada masa Orde Baru, ketika ia menjadi anggota DPR RI dari faksi NU. Dari Rahmat Mulyomiseno, lahir generasi ekonom NU yang tangguh seperti Hamzah Haz dan juga Umar Basalim, serta lain sebagainya.
Kalau dulu Partai NU dan para menteri dari NU sangat disegani, karena baik partai, pimpinannya termasuk para menterinya memiliki integritas tinggi, kerja keras, bersikap tegas, hidup sederhana. Semuanya masih dalam konteks perjuangan sehingga rela berkorban. Sekarang ini mulai partai, menteri dalam rangka mencari keuntungan pribadi. Mereka enggan berjuang untuk rakyat dan bangsa kalau hal itu akan merugikan kepentingan pribadi. Akibatnya negara menjadi miskin hutangnya banyak, tetapi para pejabatnya kaya-raya karena gajinya tinggi dan itupun masih giat berkorupsi. Spirit NU dengan morl ahlussnnah wal jamaah peru ditekankan Kembali, tidak hanya dalam urusan pribadi , tidak kalah pentingnya dalam urusan umum kenegaraan.